Wednesday, July 22, 2015

Tidurlah dalam keadaan suci

➰��TIDURLAH DALAM KEADAAN SUCI ❗❗

������

لا تنم إلّا على طهارة فالأمر عظيم !!

��عن أبي أمامة رضي الله عنه قال:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:

" من أوى إلى فراشه طاهرا لم ينقلب ساعة من الليل يسأل الله شيئا من خير الدنيا والآخرة إلا أعطاه إياه."

�� صححه الألباني في الكلم الطيب

��������

⬜ Dari Abu Umamah Rodiyallohu 'anhu, beliau berkata :
Saya mendengar Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa Sallam bersabda :
" barang siapa yang menuju pembaringannya dalam keadaan suci,  tidaklah satu saat pun dia membalikkan badannya di malam hari, lalu meminta sesuatu kpd Alloh berupa kebaikan dunia dan akhirat melainkan Alloh akan memberikanya"

♻Dishohihkan oleh syaikh al albaani di Al- Kalim at-thoyyib.

*****

����Forum Ilmiyah Karanganyar

����������������

Tuesday, July 21, 2015

Siapa mahrom itu?

❓�� SIAPA SAJA MAHRAM ITU..

✏_Ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini  حفظه الله

Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah , mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah , mimnya di-fathah.
Mahram dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar bersamanya, boleh boncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.

Mereka kita bagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama, mahram karena nasab (keturunan), kedua mahram karena penyusuan, dan ketiga mahram mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan).

✔Kelompok yang pertama ada tujuh golongan:
▪1.    Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
▪2.    Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
▪3.    Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
▪4.    Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
▪5.    Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
▪6.    Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
▪7.    Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.

Mereka inilah yang dimaksudkan Allah ta'ala:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)

✔Kelompok yang kedua juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah ta'ala:

“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan”. (An-Nisa 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan milik dia melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih1 bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut2. Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti masuk di dalamnya anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, begitu pula dua anak yang disusui oleh wanita yang sama, maka ayat ini dan hadits yang marfu’:

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas)
Keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari orang tua susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullah, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah ta'ala:

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233)
Dan hadits ‘Aisyah muttafaqun ‘alaihi menerangakan bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa suatu penyusuan tidaklah mengharamkan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan, setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan (meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali).

✔Adapun kelompok yang ketiga maka jumlahnya 4 golongan sebagai berikut;
▪1.    Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 22.
▪2.    Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa ayat 23.
▪3.    Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa ayat 23.
▪4.    Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah)3, cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa ayat 23.

Golongan 1, 2 dan 3 menjadi mahram hanya dengan sekedar akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri), adapun yang keempat maka dipersyaratkan terjadinya jima’ bersama dengan akad yang sah , dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagi mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati, rabibah misalnya tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.
Selain dari apa yang disebutkan di atas maka bukan mahram, jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.
Begitu pula saudara perempuan istri atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, boncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri sampai kalau seandainya dia dicerai atau meninggal maka baru boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan firman Allah ta'ala:

“Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (An-Nisa: 23)
Dan hadits Abu Hurairah muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Asy-Syarhul Mumti’, 5/168-210)

Semoga bermanfaat

Sumber dari: majalah asy syariah.

Hukum terkait puasa syawal

������

BEBERAPA HUKUM SEPUTAR PUASA SYAWAL

_______________ ✒

Oleh :
Al Ustadz Abu Muawiyah Askary حفظه الله

✅ Haram Berpuasa di Hari Raya

Pada tanggal satu Syawal, diharamkan bagi seorang muslim untuk berpuasa disebabkan karena hari tersebut merupakan hari raya, hari makan dan minum. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid Maula Bin Azhar berkata: “Aku menyaksikan hari raya bersama Umar bin Khattab -Radhiallahu Anhu- lalu Beliau berkata: dua hari ini adalah hari di mana Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada keduanya: hari kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari yang kedua di saat kalian makan dari sembelihan kalian."
(Muttafaq alaihi)

Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits Abu Said Al-Khudri -Radhiallahu Anhu- bahwa beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan hari raya kurban."
Berkata Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-syafi-i Rahimahullah: hadits ini menunjukkan diharamkannya berpuasa pada dua hari raya, sama saja apakah itu puasa nazar, kaffarah, sunnah, puasa qadha dan tamattu', dan ini berdasarkan ijma' ulama."
(Fathul Bari: 4/281)
Maka jika anda hendak berpuasa syawal, hendaknya dimulai dari tanggal dua Syawal, dan seterusnya.

✅ Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan?

Berpuasa enam hari di bulan Syawal, tidak disyaratkan harus dilakukan secara berurutan, namun diperbolehkan dilakukan kapan saja dari hari- hari di bulan Syawal. Namun jika dia melakukannya secara berurutan, maka tentu hal ini lebih baik.

Berkata An-Nawawi Rahimahullah: "para ulama berkata: disukai melakukan puasa tersebut secara berurutan, di permulaan bulan Syawal. Namun jika melakukannya tanpa berurutan dan mengakhirkannya, hal tersebut diperbolehkan, dan dia telah melakukan sunnah ini, berdasarkan keumuman hadits.
(Al-majmu', syarhul muhadzdzab: 6/427)

Berkata pula Syaikh Bin Baaz Rahimahullah: " diperbolehkan melakukannya secara berurutan dan secara terpisah, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- menyebutkannya secara mutlak tanpa penjelasan berurutan ataupun terpisah."
(Majmu' Fatawa ibn Baaz: 15/391)

✅ Tidak Mengkhususkan Puasa di Hari Jum'at

Apabila berpuasa enam hari di bulan Syawal, hendaknya tidak menyendirikan puasa pada hari Jum'at, namun hendaknya berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- :
"Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum'at, kecuali jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya."
(HR.Bukhari dari Abu Hurairah -Radhiallahu Anhu- )

Diriwayatkan dari Juwairiyah Bintul Harits Radhiallahu Anha bahwa suatu ketika Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- masuk ke tempatnya pada hari Jumat dalam keadaan ia berpuasa. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bertanya: apakah engkau berpuasa kemarin? Juwairiyah menjawab: tidak. Lalu Beliau bertanya: apakah engkau ingin berpuasa besok? Ia menjawab: tidak. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- berkata: "batalkanlah (puasamu)".
(HR.Bukhari)

Namun dikecualikan apabila seseorang berpuasa pada hari kebiasaan dia berpuasa, lalu bertepatan pada hari Jum'at, seperti jika dia hendak berpuasa Asyura, lalu bertepatan dengan hari Jum'at, maka boleh berpuasa di hari Jum'at, meskipun ia tidak berpuasa hari sebelum dan sesudahnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:

"Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam- malam yang lainnya dengan qiyamul lail secara khusus, dan jangan pula kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari- hari lainnya dengan puasa khusus, kecuali jika salah seorang kalian biasa melakukan puasa itu."
(HR.Muslim)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah setelah menyebutkan beberapa hadits tentang larangan mengkhususkan puasa pada hari Jum'at:

"dan diambil faedah dari pengecualian dalam hadits tersebut bolehnya berpuasa jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau bertepatan waktunya dengan hari- hari yang ia biasa berpuasa pada hari tersebut, seperti jika ia berpuasa pada hari- hari putih (tanggal 13, 14, 15 Hijriyah dalam setiap bulan,pent) , atau seseorang punya kebiasaan untuk berpuasa di hari tertentu seperti hari Arafah, lalu bertepatan pada hari Jumat."
(Fathul Bari: 4/275)

✅ Tidak Mmengkhususkan Puasa Pada Hari Sabtu

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bahwa beliau bersabda:
"Jangan kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali sesuatu yang diwajibkan atas kalian."
(HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al- Hakim, dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya bernama Ash -Shamma'. Hadits ini diperselisihkan para ulama tentang keabsahannya)

Berkata At-Tirmidzi: maknanya adalah seseorang mengkhususkan hari Sabtu dengan berpuasa, sebab kaum Yahudi memuliakan hari Sabtu.
(Jami' At-tirmidzi)

⏰⏰
Hukum Puasa Syawal Bagi Yang Punya Hutang Puasa Ramadhan

Bagi seseorang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan, hendaknya ia menyempurnakan qadha' puasa Ramadhannya terlebih dahulu sebelum ia berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan " barangsiapa yang berpuasa Ramadhan.....", nampak bahwa yang dimaksud adalah menyempurnakan puasa Ramadhan, dan dikuatkan lagi dengan penjelasan bahwa satu kebaikan senilai sepuluh kebaikan, yang jika dihitung seluruhnya akan mencapai setahun, hal itu hanya mungkin bila seseorang berpuasa sebulan penuh.

Berkata Al-Haitami Rahimahullah:
"...sebab puasa tersebut (puasa enam hari di bulan Syawal,pent) bersama dengan puasa Ramadhan, sebab jika tidak, maka tidak terdapat keutamaan tersebut, meskipun ia memiliki hutang puasa karena ada udzur)." (Tuhfatul Muhtaj: 3/457)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah:
"Berpuasa enam hari di bulan Syawal tidak akan diraih pahalanya kecuali apabila seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Maka barangsiapa yang memiliki hutang puasa, jangan dia berpuasa enam hari di bulan Syawal kecuali setelah meng- qadha puasa Ramadhan, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan:

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lalu menyertakannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal...."
Oleh karenanya, kami mengatakan kepada yang memiliki hutang puasa: puasa qadha'- lah terlebih dahulu, lalu setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawal. "
(Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/18)

Semoga Allah -Azza Wajalla- memberi kemudahan kepada kita semua untuk bisa mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, dan mengharapkan ridha Allah -Azza Wajalla- .

Ditulis oleh:
Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Makkah Al-Mukarramah, kamis 28 ramadhan 1433 H.

����
http://salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/174-puasa-syawal

�� TIS

Saturday, July 18, 2015

Tanda diterimanyaamal ramadhan

���� TANDA-TANDA DITERIMANYA (AMAL SHALIH) di BULAN RAMADHAN
---------------------------
▪ Asy-Syaikh al-'Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata:

"Termasuk dari tanda-tanda diterimanya (amalan shalih) di bulan Ramadhan dan bulan selainnya adalah : TERSUSULNYA KEBAIKAN DENGAN KEBAIKAN LAINNYA.
����  Jika keadaan seorang muslim setelah melalui Ramadhan menjadi keadaan yang baik, tetap memperbanyak kebaikan dan amalan-amalan shalih, inilah tanda yang menunjukkan « amalan diterima »

 Jika sebaliknya, amalan kebaikan justru disusul dengan amalan buruk, keluar dari bulan Ramadhan malah mengikutinya dengan amalan kejelekan, juga berbagai kelalaian, serta sikap berpaling dari ketaatan kepada Allah, inilah tanda yang menunjukkan « tidak diterimanya amalan Ramadhan ».

���� Dikutip dari Majalis Syahru Ramadhan hal 119.

��✏��✏��✏��

•••••••••••••••••••••
���� Majmu'ah Manhajul Anbiya

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sunday, July 12, 2015

Bila hari raya bertepatan dg hari jumat

3⃣ SILSILAH RAGAM HUKUM TERKAIT 'IED

----------------------

3. HUKUM JUM’AT DAN SHALAT JUM’AT KETIKA BERTEPATAN DENGAN HARI RAYA ('ID), dan
Masalah BENARKAH WANITA WAJIB SHALAT JUM’AT MESKIPUN DI RUMAHNYA

-----------------------------

���� Tanya : Bahwa ada seorang yang menyampaikan fatwa-fatwa, bahwa :
▪ Gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur bagi barangsiapa yang telah hadir shalat ‘Id pada hari Jum’at, baik imam maupun makmum.

▪ Kewajiban shalat Jum’at bagi kaum wanita meskipun di rumahnya.

Maka jama’ah meminta agar permasalahan ini diangkat kepada majelis yang mulia ini, agar mereka mendapatkan faidah keterangan yang benar dalam masalah ini."

 ���� Jawab :

1⃣ PERTAMA : Apabila bertepatan Hari Raya ‘Id dengan hari Jum’at maka GUGUR KEWAJIBAN untuk menghadiri Shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah hadir Shalat ‘Id, kecuali bagi imam, maka kewajiban Jum’at tidak gugur darinya. Kecuali apabila tidak ada orang yang hadir shalat Jum’at.

���� Di antara yang berpendapat demikian : asy-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Auza’i. Ini juga merupakan pendapat shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka.

↘ Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Iyyas bin Abi Ramlah asy-Syami :

«شهدت معاوية يسأل زيد بن أرقم: هل شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم واحد؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل »

Aku menyaksikan Mu’awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah Anda hadir bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam 2 hari raya yang bertepatan dalam satu hari (yakni ‘Id dan hari Jum’at bertepatan dalam satu hari, pen)?.

Zaid menjawab, “Iya”

Mu’awiyah bertanya, “Apa yang beliau lakukan?”

Zaid menjawab, “Beliau shalat ‘Id dan memberikan rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk shalat Jum’at (yakni boleh tidak hadir Jum’at, pen), dengan mengatakan, “Barangsiapa yang mau shalat Jum’at silakan shalat.” (HR. an-Nasa’I 1591, Abu Dawud 1070)

↘ dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,

«اجتمع في يومكم هذا عيدان؛ فمن شاء أجزأه عن الجمعة، وإنا مجمعون  »

“Pada hari ini, bertepatan dua hari raya (Hari ‘Id dan Hari Jum’at), barangsiapa yang mau maka Shalat ‘Id itu telah mencukupinya dari Shalat Jum’at. Namun kami tetap melaksanakan Jum’at.”
(HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311)

☀ Barangsiapa yang gugur darinya kewajiban menghadiri Shalat Jum’at, maka dia tetap MELAKSANAKAN SHALAT ZHUHUR.

2⃣ KEDUA : Shalat Jum’at disyari’atkan untuk kaum pria. KAMI TIDAK MENGETAHUI ADANYA DALIL YANG MENUNJUKKAN DISYARI’ATKAN SHALAT JUM’AT UNTUK KAUM WANITA DI RUMAH MEREKA.

✅ Iya, apabila wanita melaksanakan shalat Jum’at bersama imam (di masjid, pen) maka itu sah, namun tidak wajib baginya.

Ⓜ Ibnu Qudamah mengatakan,

(أما المرأة فلا خلاف في أنها لا جمعة عليها)
“Adapun untuk wanita, tidak ada perbedaan pendapat bahwa TIDAK ADA KEWAJIBAN JUM’AT ATASNYA.”

Ⓜ Ibnu al-Mundzir mengatakan,

(أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم: أن لا جمعة على النساء)

“Telah berijma (sepakat) semua ‘ulama yang aku hafal dari mereka, bahwa TIDAK ADA KEWAJIBAN JUM’AT ATAS KAUM WANITA.”

�� Karena memang kaum wanita tidak bisa hadir di tempat yang di situ kaum pria berkumpul. Oleh karena itu, tidak wajib pula atas kaum wanita shalat berjama’ah (di masjid, pen).

�� Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’

Fatwa no : 2140

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

 

⚠ *) ket : ada sedikit perubahan pada teks pertanyaan , yakni pertanyaan ketiga sengaja tidak kami sertakan. Jawaban untuk pertanyaan ketiga juga tidak kami sertakan.

••••••••••••••••
�� Majmu'ah Manhajul Anbiya

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Buah kedermawanan (infaq)

������������������

BUAH KEDERMAWANAN

(Ditulis oleh; Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radiallohu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda :

بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلاَةٍ مِنَ اْلأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا فِي سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ. فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ بِمِسْحَاتِهِ، فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلاَنٌ -لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ-. فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ لِاسْمِكَ، فَمَا تَصْنَعُ فِيهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ

Ketika seorang laki-laki berada di sebuah tanah lapang yang sunyi, dia mendengar sebuah suara di angkasa, “Berilah air pada kebun si Fulan!” Awan itu pun bergerak lalu mencurahkan airnya di satu bidang tanah yang berbatu hitam. Ternyata saluran air dari beberapa buah jalan air yang ada telah menampung air tersebut seluruhnya. Dia pun mengikuti air itu. Ternyata dia sampai kepada seorang pria yang berdiri di kebunnya sedang mengubah aliran air dengan cangkulnya.

Laki-laki tadi berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?”

Petani itu menjawab, “Nama saya Fulan.” Dia menyebutkan nama yang tadi didengar oleh lelaki pertama dari angkasa.

Si petani bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, mengapa Anda menanyakan nama saya?”

Kata lelaki itu, “Sebetulnya, saya tadi mendengar sebuah suara di awan yang airnya baru saja turun dan mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ menyebut nama Anda. Apakah yang Anda perbuat dengan kebun ini?”

Petani itu berkata, “Baiklah, kalau Anda mengatakan demikian. Sebetulnya, saya selalu memerhatikan apa yang keluar dari kebun ini, lalu saya menyedekahkan sepertiganya, sepertiga berikutnya saya makan bersama keluarga saya, dan sepertiga lagi saya kembalikan (untuk modal cocok tanam)….”

Dengan sanad hadits ini juga, dari Wahb bin Kaisan sampai kepada Abu Hurairah radiallohu anhu, tetapi (dalam riwayat ini) petani itu berkata, “Saya mengalokasikan sepertiganya untuk orang miskin, peminta-minta, dan para perantau (ibnu sabil).”1

Perhatikanlah bagaimana Allah subhaanahu wata'aala, menggiring rezeki untuk manusia, binatang ternak, burung-burung, tanah, dan gunung-gunung, kemudian rezeki itu sampai kepadanya karena besarnya kebutuhan mereka, pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Perhatikanlah bagaimana Allah subhaanahu wata'aala, menundukkan angin agar menggiring awan sampai turun hujan.

Di dalam hadits ini dijelaskan keutamaan sedekah dan berbuat baik kepada orang miskin dan ibnu sabil. Dijelaskan pula keutamaan seseorang makan dan memberi nafkah kepada keluarga dari hasil usahanya sendiri. Di sini, petani itu memisahkan sepertiga hartanya untuk keluarga, sepertiga yang kedua untuk sedekah, dan sepertiga berikutnya untuk modal menanam lagi.

Selengkapnya :

����
http://salafybpp.com/index.php/nasehat/169-buah-kedermawanan

�� TIS

Friday, July 10, 2015

Apakah memberi tahu ketika menyerahkan zakat?

���� APAKAH DIPERSYARATKAN MEMBERITAHUKAN KETIKA MEMBAYAR ZAKAT?

☀ asy-Syaikh 'Ubaid al-Jabiri hafizhahullah

~~~~~~~~~~~~~~~
❔❓ "Ketika membayarkan harta zakat kepada sang mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) apakah DIPERSYARATKAN untuk MEMBERITAHU BAHWA INI ADALAH UANG ZAKAT?  karena ada orang yang sebenarnya membutuhkan,  namun dia menolaknya ketika tahu bahwa itu adalah harta zakat."

Jawab :
"JANGAN KAMU BERITAHU. Biarkanlah dia tidak tahu. Kalau memang dia itu membutuhkan, yakni faqir,  miskin, gharim, Ibnu Sabil.... dst dari delapan ashnaf (golongan yang berhak menerima zakat).
��✉ Berikanlah kepadanya harta sesuai kemampuanmu (yakni zakat, pen)  TANPA MEMBERITAHUKAN KEPADANYA (bahwa itu adalah harta zakat).
Kecuali kalau dia terus memaksamu,  maka jawablah, "Iya,  ini adalah zakat."
Tapi kalau dia diam (tidak bertanya), maka diamlah juga,  biarkan dia tidak tahu."

~~~~~~~~~~~~

بارك الله فيكم شيخنا، يقول السائل: هل يُشْترط عند أداءِ مال الزكاة لمُسْتَحِقِّها أن يُبَلَّغ بأن هذا مال زكاة؟ لأن هناك ممن هو محتاج ويرُدُّها إذا علم أنها زكاة؟

الجواب:
لا تُبلِّغه، دعْهُ في غفلته، مادام أنه محتاج يعني فقيرًا أو مسكينًا أو غارمًا، أو ابن سبيل؛ من الأصناف الثمانية، فأعطه ما تقدر عليه دون إبلاغه بذلك، إلا إن ألحَّ عليك، فقل له: نعم هذا زكاة، لكن إذا سكت فاسكت أنت ودعه في غفلته.

�� http://ar.miraath.net/fatwah/11759

�� http://ar.miraath.net/sites/default/files/fatawah/questions/ramadan_meeting%20with_sh_ubayd_005_12.mp3

••••••••••••••••••
���� Majmu'ah Manhajul Anbiya

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ketawadhuan Imam Ahmad

����������������

KETAWADU'AN IMAM AHMAD BIN HAMBAL رحمه الله

➡Berkata Yahya bin Ma'in rahimahullah:

Aku tidak pernah melihat (seseorang) seperti Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, kami bersama beliau selama 50 tahun dalam keadaan beliau rahimahullah tidak pernah membanggakan kesholihan dan kebaikan yang ada pada diri beliau terhadap kami dan beliau rahimahullah berkata: kami adalah kaum yang miskin (dalam hal kesholihan dan kebaikan).

➡Berkata Al Hafidz:

Kami melihat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah masuk ke pasar Baghdad untuk membeli kayu bakar dan beliau rahimahullah membawa kayu bakar tersebut di atas pundaknya. Maka ketika manusia melihatnya, toko-toko dan warung-warung ditinggal oleh para pemiliknya dan orang-orang yang sedang berjalan berhenti di jalan-jalan mereka kemudian mereka memberikan salam kepada beliau rahimahullah dan mereka berkata: biar kami yang membawa kayu bakar tersebut. Maka bergetarlah tangan beliau rahimahullah, memerah wajahnya dan kedua matanya berlinang air mata kemudian beliau rahimahullah berkata: kami adalah kaum yang miskin (dalam hal kesholihan dan kebaikan) kalau bukan Allah Ta'ala yang menutupi niscaya akan tersingkaplah kejelekan-kejelekan kami.

➡Datang seseorang untuk memuji Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, maka Imam Ahmad rahimahullah berkata kepadanya: Allah Ta'ala sebagai saksi, sesungguhnya aku membencimu dari apa-apa yang engkau ucapkan. Seandainya engkau mengetahui dosa-dosa dan kesalahan-kesalahanku yang ada padaku niscaya engkau akan menuangkan debu di atas kepalaku.

➡Dan beliau rahimahullah berkata: duhai kiranya saya tidak mengenal kemasyhuran/popularitas.

➡Duhai kiranya saya berada di salah satu lembah dari lembah-lembah Makkah yang manusia tidak mengetahui keberadaan saya.

Al Hilyah li Abi Nu'aim (9/181).

==================

��ﻗﺎﻝ ﻳﺤﻴﻲ ﺑﻦ ﻣﻌﻴﻦ-
     رحمه الله-:��

⭕ﻣﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﺜﻞ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ، ﺻﺤﺒﻨﺎﻩ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺳﻨﺔ ﻣﺎ ﺍﻓﺘﺨﺮ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺡ ﻭ ﺍﻟﺨﻴﺮ، ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺣﻤه ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻘﻮﻝ :ﻧﺤﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﺴﺎﻛﻴﻦ.

��ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﻔﺎﻅ : ﺭﺃﻳﻨﺎ ﺍﻹﻣﺎﻡ أحمد ﻧﺰﻝ ﺇﻟﻰ ﺳﻮﻕ ﺑﻐﺪﺍﺩ، ﻓﺎﺷﺘﺮﻯ ﺣﺰﻣﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻄﺐ، ﻭﺟﻌﻠﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﻔﻪ ، ﻓﻠﻤﺎ ﻋﺮﻓﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ، ﺗﺮﻙ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﺘﺎﺟﺮ ﻣﺘﺎﺟﺮﻫﻢ ، ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﺪﻛﺎﻛﻴﻦ ﺩﻛﺎﻛﻴﻨﻬﻢ ، ﻭﺗﻮﻗﻒ ﺍﻟﻤﺎﺭﺓ ﻓﻲ ﻃﺮﻗﻬﻢ ، ﻳﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻴﻪ ، ﻭﻳﻘﻮﻟﻮﻥ : ﻧﺤﻤﻞ ﻋﻨﻚ ﺍﻟﺤﻄﺐ ، ﻓﻬز ﻳﺪﻩ ،ﻭﺍﺣﻤﺮ ﻭﺟﻬﻪ ،ﻭﺩﻣﻌﺖ ﻋﻴﻨﺎﻩ
��ﻭﻗﺎﻝ ﻧﺤﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﺴﺎﻛﻴﻦ ، ﻟﻮﻻ ﺳﺘﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻻﻓﺘﻀﺤﻨﺎ.

��ﺃﺗﻰ ﺭﺟﻞ ﻟﻴﻤﺪﺡ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﺣﻤﺪ رحمه الله،
ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﺣﻤﺪ :
ﺃﺷﻬﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻲ ﺃﻣﻘﺘﻚ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﻼﻡ ،ﻭﺍﻟﻠﻪ  ﻟﻮ ﻋﻠﻤﺖ ﻣﺎ ﻋﻨﺪﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ ﻭﺍﻟﺨﻄﺎﻳﺎ ﻟﺤﺜﻮﺕ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺳﻲ ﺑﺎﻟﺘﺮﺍﺏ.

��ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ :ﻳﺎ ﻟﻴﺘﻨﻲ ﻣﺎ ﻋﺮﻓﺖ ﺍﻟﺸﻬﺮﺓ،

��ﻳﺎ ﻟﻴﺘﻨﻲ ﻓﻲ ﺷﻌﺐ ﻣﻦ ﺷﻌﺎﺏ ﻣﻜﺔ ﻣﺎ ﻋﺮﻓﻨﻲﺍﻟﻨﺎﺱ.

�� ﺍﻟﺤﻠﻴﺔ لأبي نعيم ‏
( 9/181)

�� W S C

Sunday, July 5, 2015

Qunut witir

������ KESIMPULAM PEMBAHASAN TENTANG QUNUT WITR

��✏__asy-Syaikh DR. Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah

1. Bahwa ucapan sebagain para imam, “Tidak shahih  satu hadits pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah qunut witr sebelum rukuk ataupun setelahnya”, demikian pula ucapan Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah : “Tidak shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut witr satu hadits musnad pun” pernyataan ini PERLU DITINJAU ULANG, dan TIDAK BISA DITERIMA.
�� Telah pasti riwayat hadits musnad tentang qunut witr, hadits dari shahabat al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, hadits Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, wallahu a’lam.
Sebagaimana telah pasti pula dari para shahabat, seperti ‘Umar bin al-Khaththab, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’b, dan lainnya. Yang seperti ini tidak ada tempat untuk ra’yu dan ijtihad, karena maqamnya adalah maqam ibadah, hukum asal penilaian dalam maqam ini adalah tauqif (dilakukan berdasarkan keterangan dalil dari Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kalau seandainya mereka tidak memiliki tauqif (keterangan dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) niscaya mereka tidak akan mengerjakannya.

2. Qunut witr disyari’at dilakukan sepanjang tahun.
▪ Praktek sunnah adalah: kadang-kadang mengerjakannya, dan kadang-kadang meninggalkannya. Hal ini berdasarkan dalil keterangan yang datang berupa perbedaan riwayat dalam hal disyari’atkannya sepanjang tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu terkadang mengerjakannya dan terkadang meninggalkannya.
▫ Ditekankan untuk terus mengerjakan qunut witr pada separo terakhir bulan Ramadhan, sejak malam ke-16 Ramadhan. Disyari’atkan untuk meninggalkan qunut witr pada separo pertama Ramadhan kalau dia shalat sebagai imam. Ini termasuk sunnah yang banyak ditinggalkan, bahkan tidak diketahui. Walaupun kalau dia berqunut pada awal dan akhir Ramadhan, boleh.

3. Qunut witr boleh dikerjakan sebelum rukuk, boleh pula setelah rukuk. Yang AFDHAL (lebih utama) adalah SEBELUM RUKUK.

4. Di antara sunnah yang banyak ditinggalkanpada masa ini : dalam qunut witr dilakukan TAKBIR SEBELUM qunut dan SETELAHnya, apabila qunut tersebut dilakukan sebelum rukuk.

5. Termasuk praktek sunnah, imam mengeraskan bacaan doa qunut witr, dan para makmum MENGAMINKANNYA.

6. Praktek sunnah dalam doa qunut adalah tidak dipanjangkan.
▫ Kalau mencukupkan pada doa yang terdapat dalam riwayat, maka itu afdhal (lebih utama).
▪ Kalau terkadang dipanjangkan sesuai kadar doa-doa yang ada dalam riwayat, maka itu boleh.

7. Lafazh-lafazh doa qunut tidak ada sesuatu yang harus. Boleh dikerjakan dengan bacaan doa apapun.
�� Namun yang afdhal (lebih utama) membatasi pada bacaan doa yang terdapat dalam riwayat.

8. Termasuk praktek sunnah, seorang imam apabila shalat witr berjama’ah pada bulan Ramadhan, dia tidak berqunut pada separo pertama Ramadhan. Baru berqunut pada separo kedua Ramadhan, dan diiringi doa kecelakaan untuk orang-orang kafir.

9. Disyari’atkan untuk mengangkat tangan dalam qunut witr, disyariatkan pula tidak mengangkat tangan. Disyari’atkan pula untuk mengangkat tangan pada awalnya dan meluruskan tangan pada akhirnya.
�� Semuanya boleh.

10. Tidak disyari’atkan mengusap wajah dengan kedua tengan ketika selesai doa qunut.

11. Disyari’atkan pula membaca shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa qunut.

12. Dilakukan sujud sahwi bagi barangsiapa yang terbiasa melakukan qunut witr namun terlupa darinya. Adapun orang yang tidak memiliki kebiasaan melakukan qunut, atau seorang yang sengaja meninggalkannya, maka tidak perlu sujud sahwi.

13. Bahwa shahabat Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhuma adalah di antara shahabat yang paling banyak dinukilkan dari mereka hukum-hukum qunut witr.

14. bahwa shalat yang paling mirip dengan shalat witr adalah shalat Maghrib, karena memang Maghrib berkedudukan sebagai witr siang hari. Maka apa yang terdapat dalam qunut Nazilah pada shalat maghrib, apa itu juga ada pada qunut witr. Yang menguatkan hal ini adalah, apa yang berlaku dalam shalat fardhu berlaku pula untuk shalat nafilah, kecuali berdasarkan dalil.

15. Mayorits hukum-hukum qunut witr ditetapkan berdasarkan perbuatan para shahabat Nabi – ridhwanullah ‘alahim – . Maqam ini termasuk yang tidak ada tempat untuk ra’yu dan ijtihad padanya, karena perbuatan seperti itu tidak mungkin dilakukan berdasarkan ra’yu semata. Sehingga riwayat-riwayat dari para shahabat tersebut berstatur marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Perbedaan pendapat di kalangan mereka termasuk dalam jenis perbedaan tanawwu’ (variatif), selama bisa dipadukan. Wallahul Muwaffiq.

�� (dari Kitab al-Ahadits wa al-Aatsar al-Waridah fi Qunut al-Witr : riwayatan wa dirayatan, asy-Syaikh DR. Muhammad Bazmul, hal. 86-88)

�� Unduh kitabnya di sini
�� http://ia600801.us.archive.org/12/items/abu_yaala_kunut_bazmul/kunut_bazmul.pdf

..........................................
�� �� http://www.manhajul-anbiya.net/kesimpulan-pembahasan-tentang-qunut-witr/
...........................................

••••••••••••••••••••••
���� Majmu'ah Manhajul Anbiya

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~